Kamis, Agustus 23, 2007

Selamat datang lagi, Hujan...

Lagi, hujan mulai menampakkan wajah cerianya di jendela kamarku yang basah. Bau tanah basah selalu memberikan rasa damai dan segar dalam hatiku. Semakin romantis. Beratnya beban yang saat ini sedang menggunung sedikit teredakan karena alunan merdu rinainya yang mengetuk setiap senti muka bumi.
Kulihat, kupandang dari halaman rumahku. Subuh yang basah. Subuh yang indah. Berharap Mahani berdiri dan memelukku dari belakang tubuhku. Hahaha... hal yang mustahil. Dia yang gak pernah bisa bangun dini hari kadang menjengkelkan aku. Tapi itulah Mahani... Salah satu konsekwensi yang harus aku hadapi karena sudah memilih dia jadi pasangan hatiku ya harus bisa hadapi dia yang gak bisa bangun pagi itulah...
Tapi sudahlah. Kunikmati setiap detikku bersama hujan. Ku sesapi rindu hatiku bersama rinainya. Ku pejamkan mata, kupasang dua telingaku. Hanya hujan yang mengisi setiap aliran darahku. Hanya bau tanah basah yang mengisi kembangnya paru2ku. Damai, tenang, melayang...

"Hujan, hujanku sayang, terima kasih untuk segarnya hari yang kau berikan hari ini. Terima kasih untuk alunan indah yang mengiringi hadirmu. Tolong, jangan lagi beri banjir untukku dan semua saudaraku... Biarkan tenang kali ini dalam musimmu... Cukup berikan indahmu..."

Senin, Agustus 20, 2007

Siklus

Minggu, 19 Agustus 2007. Dua pesan singkat sampai pada layar handphoneku. Satu mengabarkan kelahiran, satunya mengabarkan kematian. Betapa manusia merupakan makhluk yang tidak abadi. Tapi siklus yang memutar kehidupan itu akan terus berlangsung sampai saatnya dia kan terhenti. Hidup dan mati. Mati dan hidup. Setiap detik, pasti ada kematian dan kelahiran. Bisa jadi kelahiran itu merupakan pengganti bagi yang mati. Atau yang mati itu hilang karena sudah ada yang hidup. Atau tidak ada hubungannya sama sekali.

Dalam satu detik, apakah jumlah kelahiran akan sama dengan jumlah kematian? Perang dahsyat yang menewaskan beribu2 orang di Irak, mungkinkah tergantikan dengan kelahiran yang beribu pula dari negara2 padat seperti Cina dan Indonesia? Samakah jumlah manusia di bumi ini setiap detiknya? Pertanyaan yang belum bisa aku dapatkan.

Bumi semakin tua. Siklus jumlah manusia di bumi ternyata tidak berimbang dengan siklus rantai makanan yang tersedia. Saat siklus ini berhenti berputar, kuharap aku tidak akan berada lagi dalam kehidupan.

Rabu, Agustus 15, 2007

WOUND

"Irisan demi irisan dalam luka yang belum lagi mengering
Mengiris dalam dengan sayatan berukir sebuah nama
Berusaha hapuskan semua dengan memaksa keluar semua romantisme
Perih, saat sayatan demi sayatan sang waktu mengelupas indah yang pernah tercipta
Kebodohan nyata yang selalu berulang
Tapi tetap tak berjawab siapa sang penghadir rasa dan asa
Hanya tersisa luka yang tak akan pernah bisa mengering dan hilang"
(Wound, 24 Agustus 2007)

ABORSI


Tertegun, saat sebentuk ingatan mengukir sebuah nama
'Una Communa Sukresa'
Airmata yang tercurah, pedihnya batin yang meratap
untuk sebuah kehilangan yang diinginkan
Asa berharap kau selalu bahagia
Love U always, Son...
I miss U, so...
(Aborsi, 24 Agustus 2007)

SOSOK


Kehadiran yang selalu tiba-tiba berbagai sosok dalam jiwa
Meneduhkan, menentramkan, namun juga mengecewakan dan menyulut amarah
Seiring waktu, sang sosok menyublim meninggalkan bayang samar ingatan
Sayang, rasa tak bisa hilang untuk kemudian menjelma dalam sosok lainnya
(Sosok, 24 Agustus 2007)

TERPERANGKAP

Sudah semakin samar dan sumir
Semakin sadar bahwa cinta itu tak ada
Kasih sayang hanya wujud semesta untuk damba
Perangkap bagi jiwa yang lengah dan lemah
(Bohong, 24 Agustus 2007)

ALONE


Betapa Aku Sangat Mencintai Mereka


Jam 02.00 WIB dini hari tadi aku terbangun. Ku terduduk dipinggir ranjang memperhatikan suami dan anak2ku terkasih terlelap. Betapa aku sangat mencintai mereka...

Aku jadi ingat, dulu sewaktu aku kecil, aku juga sering terbangun tengah malam atau dini hari. Ya, sama seperti yang aku lakukan semalam, aku duduk dipinggiran ranjang dan memperhatikan Bapak, Ibu dan Adikku yang tertidur pulas (saat itu seingatku, aku masih TK besar, berarti sekitar 6 tahun usiaku dan adikku paling bungsu belum lagi lahir). Betapa aku sangat mencintai mereka. Kemudian terpikir dalam pikiran kanak2ku saat itu. Bahwa aku ingin selalu bersama mereka. Hidup dalam kasih sayang mereka. Ketika sampai kesadaran bahwa manusia akan mati, yang terpikir olehku adalah aku ingin mati bersama mereka. Ya, saat itu, aku berpikir untuk bisa mati bersama2 mereka. Karena aku nggak mau, apabila salah satu dari kami harus menjemput maut lebih dulu, akan membuat sedih anggota keluarga yang lainnya. Jadi dalam khayalku, dalam memberitakan kematian kami, yang tampak di surat kabar adalah headline besar "Satu Keluarga mati tertimpa reruntuhan rumahnya sendiri; Tidak ada satupun yang selamat". Atau "Satu Keluarga Tewas dalam Kecelakaan Lalu Lintas". Hhhmmm... Khayalan yang sadis, mungkin, tapi sungguh, aku takut untuk merasakan kehilangan atas salah satu anggota keluargaku terkasih.

Masih terekam dalam ingatanku, ketika Bapakku harus lembur di kantornya, maka aku akan terus terbangun menunggu Bapakku pulang. Bila Bapakku pulang terlambat dari waktu yang dijanjikannya, maka aku akan membangunkan ibuku dan terus menerus bertanya kenapa Bapak belum pulang juga. Gak jarang kemudian ibuku menjadi kesal karena pertanyaan2ku itu mengganggu tidurnya adikku... Kemudian saat Bapak sampai rumah, maka aku akan langsung lari ke gendongannya sambil menangis tanpa suara. Tangis takut dan senang. Takut kalau sampai terjadi sesuatu atas diri Bapakku dan senang karena Bapakku sudah pulang.

Sekarang, sebagai seorang ibu dan istri, ketakutan2 itu juga datang padaku. Tapi semalam, saat aku perhatikan wajah bidadari2ku yang pulas, yang terlintas dalam benakku adalah, aku tidak mau sesuatu terjadi pada mereka. Aku akan melakukan apapun demi mereka. Pikiran ingin mati bersama seperti saat masih bersama Bapak Ibu dulu sempat juga terlintas juga. Tapi segera aku tepis pemikiran itu. Gak adil buat anak2ku... Masa depan mereka masih sangatlah panjang. Tapi seandainya Allah Yang Maha Kuasa mengijinkan, semoga dia panggil aku lebih dahulu sebelum anak2ku dan suamiku. Karena aku gak akan sanggup menahankan rasa sedih karena kehilangan mereka. Betapa aku sangat mencintai mereka. Tapi urusan mati tetaplah urusan Allah. So, aku hanya bisa berharap dan tetap mengembalikan segalanya dalam kehendakNya.


"Ya Allah, betapa aku sangat mencintai mereka. Namun segalanya tetaplah berpulang padaMu jua dan atas kehendakMu. Tiada lain yang aku harapkan hanyalah kebahagian mereka. Orang2 yang sangat aku cintai dengan segenap hati dan jiwaku. Cintailah mereka Ya Allah... Sebagaimana orangtuaku mencintai aku sewaktu aku masih kecil. Pelihara dan lindungilah mereka selalu sepanjang hidup mereka. Kuserahkan segalanya hanya dalam tanganMu... Amien..."

Senin, Agustus 13, 2007

NYAI ONTOSOROH

"Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya, Nyo... Adalah kekalahan setelah kita melawan..."

Semalam aku menonton premier pementasan teater Nyai Ontosoroh di Graha Bakti Budaya TIM. Aku nonton bareng Mahani dan Mbak Sasha. Rencana mau nonton bareng kawan2 tanggal 13 Agustus ini. Tapi karena mau memperkenalkan Sasha akan teater dan menghindari kerepotan untuk bolak balik kantor-rumah-TIM, so, aku dan Mahani sepakat untuk nonton tanggal 12 Agustus nya karena bertepatan dengan hari Minggu.
Menit2 awal melihat pertunjukan itu, aku seperti mengalami de ja vu saat aku membaca Bumi Manusianya Pram. Karakter2 dalam buku itu seperti di hadapkan di depanku melalui tokoh2 yang memerankannya. Walaupun setting yang ditampilkan bukan merupakan visualisasi yang sesungguhnya, tapi cukup bisa mengangkat karakter dari tiap2 tokohnya. Sebagai pemeran utama, Happy Salma yang memerankan Nyai Ontosoroh cukup bisa menggambarkan tokoh perempuan ini. Sosok perempuan kuat yang awalnya dikenal dengan Sanikem.
Sanikem kecil dijual oleh orang tuanya untuk menjadi Nyai pada seorang Belanda bernama Herman Milema. Herman Milema yang awalnya baik dan sayang dengan Sanikem. Dia yang mengajarkan kepada Sanikem banyak hal. Membaca, menulis, pengetahuan2 luar biasa yang tidak pernah dibayangkan akan diperoleh Sanikem kecil. Bahkan ilmu untuk menjalankan perusahaan susu yang dimiliki Herman Milema di Hindia Belanda sampai perusahaan tersebut kemudian dialihakan menjadi atas nama mereka berdua. Kehidupan merekapun berbahagia, sampai mereka mempunyai 2 orang anak, laki2 dan perempuan yang diberi nama Robert Milema dan Annelis Milema. Sanikem dan Herman bukan tidak mencoba untuk mencarikan surat absah bagi kedua anak mereka, karena dalam kehidupan Nyai2 pada jaman dahulu merupakan jenis perbudakan halus dan terselubung. Para nyai diharapkan hanya menjadi teman tidur selama para tuan2 Belanda itu berada di Indonesia. Selain juga menjadi pengurus sapi dan ternak yang mereka miliki lainnya. Ontosoroh termasuk yang beruntung, walaupun Milema masih tidak mau menikahinya secara sah di Kantor Catatan Sipil dan menjadi mevrouw Milema.
Badai itu datang saat tiba2 seseorang yang mengaku sebagai Maurice Milema datang ke rumah mereka. dalam pembicaraannya dengan Herman Milema terungkap bahwa ternyata Herman Milema telah mempunyai anak dan istri di Netherland. Perpisahan mereka disebabkan karena Herman menuduh istrinya telah berselingkuh, walaupun tidak memprosesnya secara hukum. Maurice yang saat itu telah berhasil dan menjadi seorang insinyur (salah satu gelar yang sangat dihormati pada saat itu) menuntut haknya dan hak ibunya. Sejak saat itu, Herman Milema pergi dan hanya sesekali pulang kerumah, itupun dalam keadaan mabuk. Nyai Ontosoroh mengalami kesakitan hati yang sangat menghadapi itu semua. Dia jadi mengerti mengapa Herman Milema tidak mau mengawininya secara sah.
Tapi Nyai Ontosoroh bukanlah orang cengeng yang menangisi keadaan dirinya. Dia tetap tegar mengurus perusahaannya dan menjaga kehidupan untuk kedua anaknya. Walaupun anak sulungnya tumbuh menjadi seorang pemuda indo malas dan angkuh yang tidak menyukai dan mengakui keberadaan pribumi -yang diakhir cerita pementasan, tokoh Robert Milema ini tidak diketahui lagi rimbanya setelah pergi dari rumah pelacuran Baba Acong saat Ibu, adik dan iparnya, Minke, mendapatinya baru saja berasik masyuk dengan seorang pelacur Jepang, saat Bapaknya ditemukan mati dirumah pelacuran tersebut.
Bahkan saat anak bungsunya Annelis mau dibawa ke Belanda, karena taktik licik Maurice Milema yang mau mengambil alih harta kekayaannya, Nyai Ontosoroh bersama dengan menantunya berjuang mempertahankan dengan sekuat tenaganya. Dia meminta menantunya menulis dan menceritakan ketidak adilan yang mereka hadapi, serta melakukan pengorganisiran dengan dibantu pembantu setianya, Darsam. Walaupun kemuadian akhirnya mereka tetap harus kalah dan Annelis tetap harus pergi ke Netherland tanpa ibu dan suaminya, tapi kata2 Nyai Ontosoroh kepada Minke yang sampai saat ini masih terngiang di kupingku. "Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya, Nyo... Adalah kekalahan setelah kita melawan...". Di seperempat bagian terakhir inilah yang paling aku suka dalam pementasan teater tersebut. Semangat yang menyala dari seorang perempuan yang mempertahankan haknya yang tertindas. Nyai Ontosoroh sungguh mengispirasi aku malam itu. Aku bercerita terus mengenai hebatnya Nyai itu ke anakku Aisha Sukma Bening. Aku berharap kelak dia mempunyai jiwa seperti Nyai Ontosoroh. Perempuan tegar yang tidak lembek oleh apapun keadaan yang menimpanya.
Saat berusaha menerangkan jalannya cerita ke anakku itu, aku nggak peduli dia mengerti atau tidak. Tapi aku yakin pementasan teater ini akan menjadi sesuatu yang berkesan dan membekas di memorinya. Dan kini, dalam setiap doaku, anak2ku bisa menjadi sosok tegar seperti Nyai Ontosoroh, walaupun aku tidak pernah berharap mereka akan mengalami nasib seperti yang dialami Nyai Ontosoroh. Dan Nyai Ontosoroh juga yang kini menjadi salah satu tokoh yang aku kagumi dan aku tiru keindahan jiwanya.

Jumat, Agustus 10, 2007

Dunia (ku) --> REBORN

Karena sebuah peristiwa yang mengombang ambingkan hati, duniaku menyempit. Sebatas lingkup hanya dia dan aku. Seperti katak dalam tempurung. Yang ada dalam pikirku hanyalah satu nama yang beberapa saat lalu mengisi hari2 di tengah kesibukan duniaku. Warna baru. Indah. Dan aku seperti tenggelam di dalamnya. Tanpa kusadari aku semakin tersedot dalam rasa yang sepertinya menelan segala kesepian yang kupunya. Satu rasa yang membuatku menjadi addicted untuk selalu bisa berhubungan dengannya.
Entahlah, aku sendir gak pernah tau ini apa. Karena aku tau tetap ada batas tebal yang akan selalu menjaga jarakku dengannya. Bahkan dengan format yang kubuat sendiripun rasanya membuatku menjadi semakin gelisah. Aku tau ada yang gak beres denganku, sampai semuanya harus berakhir secara tiba2. Duniaku semakin menyempit, hanya sebatas dia dan aku. Semakin aku bagai katak dalam tempurung. Kebodohan yang kubuat sendiri. Sementara hidup menyediakan beragam warna menarik yang akan selalu bisa kuselami.
Sekarang, saat ini, aku tau bahwa duniaku sedemikian luasnya. Ada banyak yang bisa aku lakukan untuk tetap berdiri di atas kakiku dan melakukan semua hal untuk banyak hal. Aku, gak mau menjadi katak dalam tempurung. Aku adalah aku yang akan tetap menjadi diriku. Semua yang lalu, lagi2 menjadi satu fragmen indah dalam hidupku. Dan seperti kataku. Kalau hatiku sudah terlanjur sayang, maka dia gak akan mudah hilang begitu saja. Tapi, tak akan sayang itu menjebakku lagi. Aku masih punya dunia. Yang indah dan gemerlap dalam bingkai mataku. Karena sayang itu ada di mana2 untukku. Maka akan kuisi hari2ku dengan indahnya rasa syukur atas sayang dan cinta yang tersedia untukku.

"Thanks, God. I know that You will always be there fo me. To keep me save and warm..."

Selasa, Agustus 07, 2007

Dunia (ku)

Banyak warna yang bermain dan akan selalu berganti dalam kehidupan kita sebagai manusia. Ada kalanya warna2 suram dan redup yang tergambar di depan mata kita. Kadangkala berwarna cerah dan ceria. Bahkan mungkin disuatu waktu warna2 itu akan bercampur dan menjadikan kehidupan itu sendiri seperti lukisan abstrak yang indah dan patut diselami maknanya.

Yup, hidup dan kehidupan itu sendiri selalu masuk dalam perenunganku setiap malamnya. tapi ada malam2 yang bahkan untuk berpikir sedikit saja aku gak mau. Maka emosi yang aku biarkan bertahta dan mengabil alih semua bagian dari diriku, termasuk otakku. Bodoh. Betul. Bahkan super duper bodohnya saat aku lakukan itu. Karena banyak kerusakan dalam kehidupanku yang aku buat sendiri ketika kubiarkan emosi merajai diriku.

Tak urung, kadang aku menyesali semuanya. Mengapa itu aku lakukan. Tapi yah, itulah. Semuanya sudah terjadi. Dan mungkin perlu waktu untuk memperbaiki lagi semuanya. Apalagi, permainan emosiku kali ini melibatkan orang yang seharusnya bisa menjadi sahabat dan teman terbaikku. Penyesalan. Itulah.

Lagi2 harus aku sadari bahwa itulah kehidupan. Tegar dan harus bijaksana dalam menghadapi semuanya. Bijaksana untuk memperbaiki hal2 yang disebabkan karena ketidakbijakan yang aku buat. Berat. Memang. Terlebih lagi kalo aku biarkan lagi2 emosi dan perasaan masih tetap bermain dan menjadi dominan atas semuanya.

Kadang aku sendiri bertanya2. Siapakah yang berkuasa atas apa yang menjadi perasaan dari seseorang itu? Apakah orang itu sendiri, atau orang lain yang ikut ambil bagian untuk timbulnya, ataukah Tuhan yang diatas sana yang memasukkan rasa2 dalam hati orang2?
Belum sempat aku kaji dan analisa mengenai hal ini. Atau mungkin tak akan pernah aku analisa sama sekali. Sehingga aku bisa mengambinghitamkan siapapun yang aku mau atas apa yang aku rasa dan atas apapun yang tumbuh dalam hatiku. Hhhmmm...

Bagaimanapun, inilah dunia (ku) dengan segala warna, judul dan lakon yang aku salah satu bagian kecil di dalamnya...