Selasa, Oktober 17, 2006

Anak Bintang

"Bunda, aku lapar...," rengek Melati. Bundanya yang sedang bergelung di bawah kain lusuh di pinggir jembatan layang Cawang berbalik menatapnya.
"Melati lapar, Nak? Sabar, ya... Sebentar lagi Bapak pulang. Mungkin ada sedikit makanan yang bisa kau makan. Sekarang kita hitung bintang aja, supaya laparmu sedikit berkurang... ."
"Bunda, kenapa siy kita nggak punya rumah?" anak umur 4 tahun itu bertanya sambil tangannya menunjuk2 bintang... Walsih, nama sang bunda, hanya bisa menarik napas, sambil memikirkan jawaban apa yang akan diberikannya kepada buah hatinya semata wayang.
"Melati, Nak, kita BELUM punya rumah. Sekarang kita masih harus tidur di sini karena Melati masih menjadi anak bintang... ."
"Anak bintang itu apa sih, Bunda?"
"Anak bintang itu, anak2 yang tidurnya berselimutkan pelukan bintang, kayak Melati ini..."
"Dipeluk bintang, Bunda?"
"Iya. Coba perhatikan, anak2 yang tidur di bawah atap rumah, nggak akan bisa liat bintang seperti Melati, karena mereka terhalang atap rumahnya, kan...?"
"Heeh. Jadi mereka nggak di peluk bintang, Bunda?"
"Iya.."
"Tapi dipeluk bintang itu rasanya dingin sekali, Bunda... Liat, badan Melati sampe menggigil... ."
Ditahannya tangis yang sudah menggantung di pelupuk matanya. Walsih merengkuh tubuh buah hatinya. Tubuh itu terasa panas membakar kulitnya. Sudah 2 hari ini Melati sakit. Tubuh kecil itu tidak kuat menahan beratnya beban kehidupan. Pagi-pagi sekali mereka sudah harus meninggalkan pinggiran jembatan itu untuk menjumputi sisa2 sampah rumah tangga di seputar kawasan Cawang sampai Cililitan. Pekerjaan yang mereka lakukan sampai sore menjelang malam. Setelah mengumpulkan hasil yang mereka peroleh ke pengepul, kembali mereka jalan mencari tempat berteduh untuk malam harinya. Udara terbuka dan asap kendaraan yang kerap menghampirinya membuat tubuh kecil Melati semakin merapuh.
Suami Walsih, Sarkim beberapa hari ini tidak datang ke tempat yang telah mereka sepakati sebelumnya. Di pinggir jembatan Cawang. Sarkim, yang sama2 berprofesi sebagai pemulung sudah 3 hari tidak datang. Apakah dia terciduk trantib, atau terlibat perebutan lahan dengan pemulung lainnya dan kemudian terbunuh, atau kepincut Mbakyu Resti, WTS setengah baya yang memang selalu naksir berat suaminya itu, Walsih tidak tahu.
Dua hari sudah Melati sakit. Walaupun Walsih sudah mengorbankan seluruh pendapatannya untuk membeli obat di warung, Melati belum juga sembuh. Bahkan malam ini, sudah tidak ada lagi yang bisa dijadikan pengganti sekedar makanan buat dirinya dan Melati.
"Bunda, bintang itu bagus, ya... Kedap kedip."
"Bunda, kayaknya bintang2 itu ngajakin Melati main deh... Liat, Bunda, mereka senyum sama Melati..."
"Iya, Nak.. Iya..." Di eratkannya pelukan pada tubuh Melati yang semakin lemah.
"Bunda, Melati ini anak Bunda dan Bapak, kan?" Melati berkata lemah.
"He-eh.." Walsih tidak sanggup lagi berkata2, firasatnya mengatakan Melati tidak akan lama lagi menemaninya..
"Bunda, Melati sayang Bunda dan Bapak. Tapi Melati juga sayang bintang... Boleh Melati main2 sama Bintang, Bunda? Melati kan juga anak bintang, Bunda..." bicara Melati setengah mengigau oleh kantuk dan demamnya.
Walsih tidak dapat lagi berkata. Hanya doa dan puja puji yang di tujukan kepada Sang Kuasa untuk penentram hatinya dan penguat jiwanya.
Malam itu, Melati bermain dengan bintang. Dia tidak mau kembali, karena bersama bintang dia tidak lagi merasakan sakitnya kehidupan yang dialaminya. ***
(Renungan dalam desau angin malam, setelah pulang rapat di Konpalindo tanggal 16 Oktober 2006 dan melihat tunawisma di sepanjang jembatan Cawang. Gods, life is cruel. Kuatkan Saudara2 ku itu, Ya Allah. Dan terangi jalan Hamba agar dapat membantu menemukan cara membantu mereka. Apapun bentuknya, Ya Allah, ijinkan Hamba... Dan jangan jadikan Hamba sebagai orang yang sombong atas segala Rahmat dan Nikmat yang telah Engkau berikan, Ya Allah... Amien Ya Robbal Alamien...)

Tidak ada komentar: