Jumat, November 10, 2006

So, untuk training ke LN sapa siy yang menentukan?

Hari Rabu sore, tanggal 08 November 2006, seorang staf dari bagian hubungan luar negeri datang ke meja saya. Dia menawarkan saya untuk mengikuti training RWI di Bangkok. Dia cerita kalo awalnya yang seharusnya berangkat adalah Bapak Kepala Biro TU dan Persidangan dan satu orang staf perempuan dari bagian keuangan. Tetapi, karena orang keuangan tersebut sedang banyak kerja dan tidak mendapat ijin dari atasannya, staf hublu ini berinisiatif untuk mencari orang yang diperkirakan bisa berangkat. Kemudian, menurut ceritanya , karena waktunya dah mendesak (Kalo gak salah acaranya tanggal 26 November 2006), maka yang dia cari adalah orang yang sudah punya passport dan perempuan ('harus perempuan' ini yang mensyaratkan adalah dari RWInya). Dia tau saya dah punya passport, makanya dia nawarin saya. Saat dia nawarin itu, staf hublu ini bertanya apakah saya ada "personal problem" dengan Kepala Biro dan Persidangan yang sedianya akan menjadi teman training saya tersebut? Saya jawab, kalau saya, tidak ada personal problem dengan beliau, tapi kalau beliau ada personal problem dengan saya, saya tidak tahu. Saya juga bilang agar Ibu Lies sebagai Ketua Subkomisi Hak Sipol diberitahu mengenai tawaran ke Bangkok ini.

Hari Kamis, tanggal 09 November 2006, staf hublu tersebut datang lagi dan menjelaskan bahwa saya tidak jadi berangkat ke Bangkok. Saya tanya kenapa? Dia menjawab bahwa saat dia mengajukan nama saya ke Bapak Kepala Biro TU dan Persidangan, beliau bilang bahwa harus melalui prosedur dan karena training ini adalah katanya mengenai issu perempuan, maka yang seharusnya adalah orang PKK.

Mendengar itu, langsung terbersit beberapa pertanyaan:
1. Kalau memang training itu adalah issu perempuan dan harus prosedural seperti yang Bapak Kepala Biro TU dan persidangan bilang, kenapa pada awalnya yang berangkat adalah Ibu dari keuangan dan bukan teman2 dari PKK?
2. Kalau bicara soal prosedural lagi, kenapa Kepala Biro Tu dan persidangan, yang nota bene dalam tugasnya tidak berhubungan langsung dengan hal yang akan dilatihkan di Bangkok itu yang berangkat? Bukankah seharusnya adalah orang fungsional yang berhak untuk ikut pelatihan tersebut?
3. Sebagai institusi, apabila ada tawaran untuk mengikuti pelatihan tersebut, siapakah yang berhak menentukan person2 yang seharusnya "boleh" mendapatkan training tersebut???

Tulisan saya ini boleh dianggap sebagai ungkapan kekecewaan. Dan saya memang kecewa. Tidak hanya karena saya kehilangan kesempatan untuk mendapatkan ilmu, saya juga kecewa dengan satu temuan (lagi..???) mengenai "ketidak beresan" yang terjadi di Komnas HAM.

Regards, Asri, Staf Fungsional Subkom Hak Sipol

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Acie,
Sebagai orang yang seorang pekerja (bukan sedang berbicara ttg kelas ya..please) begitulah yang akan terus kita alami...dinamika sunia kerja, khususnya di jakarta --- PROFIT, tuh yg utama disebagian besar kalangan.
Mereka (waduh kesannya DISKRIMATIF skaliii) atau lebih tepat "sebagian besar" dari kalangan pekerja di jakarta memiliki background sosial ekonomi yg berbeda yg kemudian diperkeruh lagi dgn "atmosfer" jakarta yg (relatif) cepat perputaran roda ekonominya (maklumlah ibukota negara)...
"MELACUR"...kata yg sarkastik namun ku pilih utk menggambarkannya...lebih dopilih demi profit, the called "kissing ass" in western country (the western people hate it so much...tanya kenapa ? culture primitif booo!!!!)Bahkan sorry to say bhw anak2 SMP lebih memilih utk melacur dibandingkan berpeluh ria-meres otak-ngerengek ke ortu minta duit jajan buat dadan gaya britney-etc...banyak contoh kok
Apakah tidak mungkin tjd di lingkungan kerja (tidak melulu sex off course)....
I've my own experiences abt that thing...I kept to be myself...kept to be a profesional worker...even it sometimes brakes my heart...

Anonim mengatakan...

Usulan teman m@oethoet bener. Tapi apa kemudian kita harus diam saja?