Senin, Agustus 13, 2007

NYAI ONTOSOROH

"Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya, Nyo... Adalah kekalahan setelah kita melawan..."

Semalam aku menonton premier pementasan teater Nyai Ontosoroh di Graha Bakti Budaya TIM. Aku nonton bareng Mahani dan Mbak Sasha. Rencana mau nonton bareng kawan2 tanggal 13 Agustus ini. Tapi karena mau memperkenalkan Sasha akan teater dan menghindari kerepotan untuk bolak balik kantor-rumah-TIM, so, aku dan Mahani sepakat untuk nonton tanggal 12 Agustus nya karena bertepatan dengan hari Minggu.
Menit2 awal melihat pertunjukan itu, aku seperti mengalami de ja vu saat aku membaca Bumi Manusianya Pram. Karakter2 dalam buku itu seperti di hadapkan di depanku melalui tokoh2 yang memerankannya. Walaupun setting yang ditampilkan bukan merupakan visualisasi yang sesungguhnya, tapi cukup bisa mengangkat karakter dari tiap2 tokohnya. Sebagai pemeran utama, Happy Salma yang memerankan Nyai Ontosoroh cukup bisa menggambarkan tokoh perempuan ini. Sosok perempuan kuat yang awalnya dikenal dengan Sanikem.
Sanikem kecil dijual oleh orang tuanya untuk menjadi Nyai pada seorang Belanda bernama Herman Milema. Herman Milema yang awalnya baik dan sayang dengan Sanikem. Dia yang mengajarkan kepada Sanikem banyak hal. Membaca, menulis, pengetahuan2 luar biasa yang tidak pernah dibayangkan akan diperoleh Sanikem kecil. Bahkan ilmu untuk menjalankan perusahaan susu yang dimiliki Herman Milema di Hindia Belanda sampai perusahaan tersebut kemudian dialihakan menjadi atas nama mereka berdua. Kehidupan merekapun berbahagia, sampai mereka mempunyai 2 orang anak, laki2 dan perempuan yang diberi nama Robert Milema dan Annelis Milema. Sanikem dan Herman bukan tidak mencoba untuk mencarikan surat absah bagi kedua anak mereka, karena dalam kehidupan Nyai2 pada jaman dahulu merupakan jenis perbudakan halus dan terselubung. Para nyai diharapkan hanya menjadi teman tidur selama para tuan2 Belanda itu berada di Indonesia. Selain juga menjadi pengurus sapi dan ternak yang mereka miliki lainnya. Ontosoroh termasuk yang beruntung, walaupun Milema masih tidak mau menikahinya secara sah di Kantor Catatan Sipil dan menjadi mevrouw Milema.
Badai itu datang saat tiba2 seseorang yang mengaku sebagai Maurice Milema datang ke rumah mereka. dalam pembicaraannya dengan Herman Milema terungkap bahwa ternyata Herman Milema telah mempunyai anak dan istri di Netherland. Perpisahan mereka disebabkan karena Herman menuduh istrinya telah berselingkuh, walaupun tidak memprosesnya secara hukum. Maurice yang saat itu telah berhasil dan menjadi seorang insinyur (salah satu gelar yang sangat dihormati pada saat itu) menuntut haknya dan hak ibunya. Sejak saat itu, Herman Milema pergi dan hanya sesekali pulang kerumah, itupun dalam keadaan mabuk. Nyai Ontosoroh mengalami kesakitan hati yang sangat menghadapi itu semua. Dia jadi mengerti mengapa Herman Milema tidak mau mengawininya secara sah.
Tapi Nyai Ontosoroh bukanlah orang cengeng yang menangisi keadaan dirinya. Dia tetap tegar mengurus perusahaannya dan menjaga kehidupan untuk kedua anaknya. Walaupun anak sulungnya tumbuh menjadi seorang pemuda indo malas dan angkuh yang tidak menyukai dan mengakui keberadaan pribumi -yang diakhir cerita pementasan, tokoh Robert Milema ini tidak diketahui lagi rimbanya setelah pergi dari rumah pelacuran Baba Acong saat Ibu, adik dan iparnya, Minke, mendapatinya baru saja berasik masyuk dengan seorang pelacur Jepang, saat Bapaknya ditemukan mati dirumah pelacuran tersebut.
Bahkan saat anak bungsunya Annelis mau dibawa ke Belanda, karena taktik licik Maurice Milema yang mau mengambil alih harta kekayaannya, Nyai Ontosoroh bersama dengan menantunya berjuang mempertahankan dengan sekuat tenaganya. Dia meminta menantunya menulis dan menceritakan ketidak adilan yang mereka hadapi, serta melakukan pengorganisiran dengan dibantu pembantu setianya, Darsam. Walaupun kemuadian akhirnya mereka tetap harus kalah dan Annelis tetap harus pergi ke Netherland tanpa ibu dan suaminya, tapi kata2 Nyai Ontosoroh kepada Minke yang sampai saat ini masih terngiang di kupingku. "Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya, Nyo... Adalah kekalahan setelah kita melawan...". Di seperempat bagian terakhir inilah yang paling aku suka dalam pementasan teater tersebut. Semangat yang menyala dari seorang perempuan yang mempertahankan haknya yang tertindas. Nyai Ontosoroh sungguh mengispirasi aku malam itu. Aku bercerita terus mengenai hebatnya Nyai itu ke anakku Aisha Sukma Bening. Aku berharap kelak dia mempunyai jiwa seperti Nyai Ontosoroh. Perempuan tegar yang tidak lembek oleh apapun keadaan yang menimpanya.
Saat berusaha menerangkan jalannya cerita ke anakku itu, aku nggak peduli dia mengerti atau tidak. Tapi aku yakin pementasan teater ini akan menjadi sesuatu yang berkesan dan membekas di memorinya. Dan kini, dalam setiap doaku, anak2ku bisa menjadi sosok tegar seperti Nyai Ontosoroh, walaupun aku tidak pernah berharap mereka akan mengalami nasib seperti yang dialami Nyai Ontosoroh. Dan Nyai Ontosoroh juga yang kini menjadi salah satu tokoh yang aku kagumi dan aku tiru keindahan jiwanya.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Terima kasih Anda sudah menonton pementasan Nyai Ontosoroh. Semoga maknanya dapat Anda terima dengan baik.

Salam,

AKY
Produser