Kamis, Maret 15, 2007

Putar Balik Balik Putar

Persoalan HAM pra terbentuknya UU No. 26 tahun 2000 tampaknya akan mengalami jalan buntu. Hasil pertemuan Komnas, Kejagung dan Komisi III DPR RI menunjukkan bahwa masing-masing pihak menganggap benar apa yang sudah dilakukan. Komnas HAM merasa sudah menjalankan tugasnya dengan baik, sampai kemudian keluar laporan hasil penyelidikan atas beberapa kasus, seperti TSS, Tragedi Mei dan yang terakhir laporan hasil penyelidikan penghilangan orang secara paksa. Tapi memang, belum ada standar bentuk laporan yang baku bagi tim ad hoc Komnas HAM setelah melakukan penyelidikan. Kalau di lihat dan di baca, masing-masing laporan hadir dengan kekhasannya. Kekhasan di sini, maksud saya, adalah tergantung siapa orang yang duduk dalam tim itu. Selain itu, masih jadi kesimpang siuran mengenai apakah penyelidik tim ad hoc Komnas HAM harus di sumpah terlebih dahulu atau tidak. Karena tidak ada ketentuan secara tersurat dalam UU No. 26 tahun 2000 mengenai hal ini. Tapi, ketentuan peraturan ini, untuk hukum acaranya adalah merujuk pada KUHAP. Oleh karena itu, ketentuan penyelidikan yang dilakukan pun harus mengikuti aturan KUHAP untuk hukum acaranya. Dan dalam KUHAP, penyelidik haruslah di sumpah.

Kalau dari Kejagung, antara lain, mereka mau melakukan penyidikan dan penuntutan apabila telah ada kepastian dari DPR dengan surat keputusan Presiden bahwa pengadilan HAM ad hoc atas suatu kasus sudah terbentuk. Dengan alasan agar kerja yang mereka lakukan tidak menjadi sia-sia. Sementara, Pengadilan HAM ad hoc baru dapat terbentuk setelah ada masukan dari DPR dan DPR baru bisa memberikan masukan setelah hasil penyidikan oleh Kejagus selesai.

Aih... aih... Bundeti kalo kata orang Jawa, benang kusut Bahasa Indonesianya. Tapi apapun itu, sepertinya nasib korban belum menemukan titik cerah bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang mereka alami. Ada jalan yang diberikan, yaitu melalui Komisi Kebenaran dan Keadilan (KKR), sementara Komisi inipun batal terbentuk -kalau menurut pikiran cetek saya adalah karena pemerintah ketakutan untuk membentuk komisi ini, setelah menghitung bahwa akan begitu besar kompensasi yang harus mereka keluarkan bagi para korban pelanggaran HAM. Pasti selain karena banyaknya jumlah korban, juga karena besarnya kerugian yang mereka alami, baik secara materiil maupun moril-.

Rasanya sakit hati saya ketika membaca atau mendengarkan testemoni dari para korban pelanggaran HAM. Seolah mereka bukanlah manusia. Pernahkan para petinggi negara ini berpikir, bagaimana apabila yang mengalami itu adalah anak, cucu, keluarga ataudiri mereka sendiri??? Ah, mana mungkin? Sebagai pemegang kuasa negara, siapa yang berani dengan mereka? Ada juga mereka yang jadi pelanggar HAMnya -mungkin tanpa mereka sadari. Tapi kata seorang kawan, Kenapa tidak mungkin...??? So, ada sedikit doa buat para petinggi negara ini. Semoga mereka juga merasakan paling tidak 10 persen aja dari penderitaan para korban pelanggaran HAM di Indonesia, biar mereka tau bagaimana rasanya tidak dimanusiakan di negeri sendiri. Amien...***

Tidak ada komentar: